Edisi 02, Maret 2016
Paling sulit menghadapi orang yang sudah mencapai level MoE (Master of Excuses). Mereka sangat cepat menjawab dan sangat pintar menemukan excuses yang membenarkan dirinya untuk berada di comfort zone.
‘Saya tidak mampu. Orang tua tidak mengajarkan saya demikian. Saya sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya. Ini memang nasib saya. Ini gara-gara Boz yang tidak perhatian. Perusahaan memang hanya membela kepentingannya sendiri’.
Bukannya apa yang mereka bilang tidak benar. Bukan. Tetapi apa yang mereka bilang bukan penyebab utama hambatan mereka!! Bahkan bisa jadi kontribusinya sangat kecil, tetapi mereka mem-blow out of proportionhal tersebut…atau lebay.
Dalam kondisi ini, susahnya adalah: apapun yang akan kita katakan, tidak akan bermanfaat. Karena keahlian mereka sudah sebegitu tingginya sehingga mereka pasti menemukan alasan lain untuk meng-counter-nya. Bahkan mereka bukan hanya yakin sudah memberikan penjelasan yang tepat akan kesalahan atau kegagalan buat kita yang memberikan masukan, tetapi juga buat mereka sendiri!!….Yap…buat mereka sendiri. Itulah lapis demi lapis excuses.
Ketika itu terjadi pada orang-orang terdekat kita, itu memang membuat sedih. Bagaimanapun sebenarnya dia hadir karena satu alasan kuat, menjaga ego yang lemah. Karenanya sepanjang kepercayaan diri dan self unconditional love minim, maka akan sulit untuk meruntuhkan hal tersebut.
Kita akan mudah menemukan hal tersebut pada orang lain. Tapi bisa jadi, kita sendiri juga melakukan hal yang sama. Kita tidak berhasil memahami bahwa alasan yang kita sampaikan atas kegagalan kita adalah excuses (mencari-cari alasan) bukan reason (alasan sebenarnya). Bila hal tersebut semakin lama semakin canggih maka jadilah kita sang MoE (master of excuses).
G. Suardhika
Soft Skills Trainer
Competency Development Trainer