Edisi 39, 30 Juli 2020
Pada usia 50-an, kita memahami bahwa apa yang ada di depan kita (sisa usia kita) kemungkinan besar sudah lebih singkat daripada apa yang ada di belakang kita (masa lalu). Karenanya tantangan terbesar kemudian adalah bagaimana berdamai dengan masa lalu?
Bila kita memilahnya berdasarkan waktu, kebahagiaan bersumber dari 3 hal: pandangan kita tentang masa depan, seberapa jauh kita menikmati hari ini dan perasaan kita tentang masa lalu. Perspektif kita terhadap masa lalu, bisa terkait dengan tindakan yang kita sesali, atau kekecewaan kita terhadap tidak tercapainya mimpi kita. Keduanya tentu saling terkait erat.
Ketika ditanyakan pada mereka yang berusia tua, apa yang paling membuat mereka sedih: apakah kegagalan mereka, atau ketidakberanian mereka untuk mengambil peluang yang ada. Sebagian besar mengutarakan yang kedua.
Penyesalan atas tindakan masa lalu bisa dilihat dalam perspektif berikut: pertama adalah apakah tindakan tersebut sudah datang dari pertimbangan yang matang akan kondisi dan pilihan yang ada saat itu? Bila iya umumnya seseorang lebih bisa menerima berbagai konsekuensi yang ada dan melihatnya sebagai kesalahan manusiawi.
Tetapi bila tindakan itu karena kebodohan, ketidakperdulian dan resikonya terus kita rasakan saat ini maka penyesalan yang ada bisa menimbulkan efek ruminating. Sepanjang kita tidak bisa berdamai dengan kesalahan kita, maka kita akan terus teringat dan menyesal. Sangat melelahkan. Tidak heran bila kemudian kita menggunakan willpower yang dimiliki untuk menekannya. Itulah yang menyebabkan orang yang berada dalam kondisi ini umumnya mempunyai kesabaran yang minim. Karena willpower-nya sudah hampir habis dipakai.
Terlebih lagi bila kita masih belum bisa meninggalkan cita-cita kita. Kita masih merasa hidup kita baru bermakna kalau cita-cita kita terwujud. Atau kita tidak menemukan makna hidup yang lain, selain mengejar cita-cita tersebut. Inilah yang membuat kita ruminating mengenai cita-cita kita. 20 tahun berlalu, yang diomongin masih hal yang sama. Saya ingin melakukan itu, atau saya ingin memiliki ini, atau nanti saya akan wirausaha ini, dan seterusnya.
Jadi bagaimana cara berdamai dengan masa lalu? Tidak mudah. Saya ingin memperpanjang ungkapan berikut, ‘penyesalan selalu datang belakangan’, dengan ungkapan ‘menyesal pada hal yang tidak bisa diubah hanya membuat diri kita tidak berdaya’. Salah satu cara utama untuk membuat kita berdamai dengan masa lalu adalah fokus dengan apa yang masih mungkin dicapai saat ini. Reorientasi, dan lakukan apa yang masih mungkin dilakukan.
Bila sedikit demi sedikit kita menemukan keberhasilan dalam berbagai aspek hidup kita, walaupun berbeda dari mimpi sebelumnya, maka pikiran dan aktivitas kita akan fokus pada hal yang lebih produktif dan bermakna.