Edisi 06, 24 Mei 2016
Pernah dengar ungkapan itu? Atau bahkan mungkin, Anda sendiri pernah mengucapkannya? Bisa jadi ungkapan itu terlontar pada saat kita tengah bercanda…Dalam diskusi di training-training saya, kadang saya merasakan adanya sikap serupa, terucap ataupun tidak terucap. Tulisan ini akan mencoba meletakan sikap itu pada posisinya.
Ungkapan ‘ah teori’ biasanya disampaikan pada sebuah pendapat yang terkesan ‘ngawang’ atau ideal, sehingga menjadi sangat jauh dari praktek/kenyataan sehari-hari. Rasanya ungkapan ini tidak diberikan sebagai lawan dari kata praktek. Kenapa? Karena dalam pelatihan pada umumnya kita memang sedang berdiskusi, bukan praktek.
Ungkapan ini biasanya digunakan sebagai ekspresi tidak realistisnya sebuah materi pelatihan. Dalam konteks yang obyektif, tentunya memang tidak tepat memberikan materi pelatihan yang tidak applicable. Tidak bisa dipraktekan. Tetapi sayangnya sebagian ekspresi di atas bukan karena gap obyektif, tetapi subyektif. Maksudnya? Lebih karena ingin menghindari dari kebutuhan untuk berubah, lalu kita mengatakan ‘ah teori’.
Coba kita bayangkan situasi berikut ini. Anda seorang tentara yang sedang dilatih ilmu bela diri. Sang instruktur memberikan berbagai prinsip cara melakukan pukulan dan tendangan yang efektif. Bagaimana kalau diantara peserta ada yang bertanya, bagaimana cara menghadapi lawan yang datang dari sebelah kiri yang beratnya 2 kali lipat dari kita? Seberapa bermanfaatnya jawaban sang instruktur? Seberapa efektifnya diskusi mengenai pertanyaan itu?
Seorang peserta perlu memahami keterbatasan trainer, seperti juga seorang trainer memahami keterbatasannya. Kebanyakan pelatihan justru akan optimal ketika peserta datang dengan memahami bahwa ia akan mengoptimalkan apa yang trainer berikan dan tidak berharap trainer menjadi ‘superman’ yang bisa memahami dan mengatasi semua hal.
Peserta yang lebih tahu situasi lapangan, karenanya ia lebih tahu bagaimana memanfaatkan perspektif ataupun tool yang di-share di dalam pelatihan tersebut. Menanyakan berbagai kasus tentu sangat baik, tetapi sebaiknya tidak berharap sebuah jawaban yang detail dan ces pleng.
Ah teori, juga kadang disampaikan sebagai lawan dari ideal. Jadi kalau bukan ideal, apa? Pragmatis. Kalau pragmatis, ‘mah kita nggak perlu training, nggak perlu diskusi. Lebih gampang rumusnya, lakukan saja sesuai dengan yang diinginkan.
Format ideal pada umumnya merupakan format yang bisa membawa kepada keadilan, kebersamaan, kerja sama dan optimum kinerja. Jadi tidak membahas format ideal karena yang penting setiap pihak survive atau yang penting keinginan Bos X terpenuhi, berarti kita sedikit banyak, mengabaikan kepentingan perusahaan dalam jangka panjang.
Yang lebih menarik untuk didiskusikan ketika sudah memahami yang ideal adalah ini: seberapa jauh gap nya, dan apa yang bisa kita lakukan dalam situasi yang ada sekarang. Walaupun ketika kita berbicara apa yang bisa kita lakukan, kita juga bicara apa yang ideal. Kalau kemudian orang memilih untuk tidak melakukannya karena ia tidak berani, ya tidak ada gunanya pelatihan itu.
Jadi nothing wrong with theory & idealism. Yang penting adalah memilih teori yang memang bisa diaplikasikan (bukan yang complicated dan ‘mengawang’). Dan mendiskusikan idealisme yang disertai diskusi mengenai gap yang ada dan apa yang bisa dilakukan untuk menutup gap tersebut.
Ah teori…. emang iya…hehehe…
G. Suardhika
Soft Skills Trainer
Competency Development Trainer